Perempuan: Sukses, Cantik, Single?

Business-women-one-jump1

Saya pikir, setiap perempuan semestinya tahu apa yang ia inginkan dalam hidup. Sebagai perempuan, tentu saya (mungkin juga kamu) punya passion dalam hidup: sukses dan cantik, misalnya. Apa ukuran suksesmu? Bagi saya, sukses seorang perempuan adalah memiliki karakteristik seorang perempuan yang sesungguhnya, pintar dalam lingkup pekerjaan dan rumah tangga, independen dalam hal tertentu, memiliki karier yang baik agar kamu bisa settle down untuk hidupmu sendiri setidaknya, serta memberikan pengaruh dan banyak manfaat untuk sekitarmu, serta hal-hal lainnya yang belum bisa saya rinci satu persatu. Lalu, apa ukuran cantikmu? Bagi saya, kecantikan perempuan bukan sekedar apa yang bisa kamu lihat sebagai seorang biasa. Kecantikan perempuan semestinya dapat kamu lihat dengan kacamata seorang observer. Kamu dapat melihat apa yang tampak dan tidak tampak. Sesuatu yang tampak secara fisik, seperti bagaimana penampilannya, bagaimana perempuan berpakaian, bagaimana ia berperilaku, dan lain sebagainya. Pula sesuatu yang tidak tampak, seperti personality, cara berpikirnya, dan lain sebagainya.

Tentu untuk mencapai passion tersebut, kita harus mengusahakannya dengan sungguh, butuh dukungan dari significant others. Namun, tak sedikit dari kita—perempuan—yang tak mendapat dukungan dari significant others sehingga kita kadang tak dapat mengusahakan apa-apa untuk mencapai passion kita. Tak sedikit pula dari kita—perempuan—yang terkadang masih memelihara keraguan dan memilih untuk setuju dengan dogma bahwa perempuan, bagaimanapun ia sukses dan cantik, nantinya ia juga akan berkeluarga, melayani suami, mendidik anak-anak di rumah, memasak di dapur, dan lain sebagainya. Tak sedikit dari teman-teman perempuan saya yang menyetujuinya. Saya pun setuju dengan hal tersebut. Perempuan tentu harus melayani suami, mendidik anak-anak, dan memasak di dapur, serta mengurusi urusan rumah tangga lainnya. Hal tersebut menurut saya adalah naluri perempuan karena perempuan, bagaimana pun, akan mengurusi ‘dapur’. Namun, menurut saya, perempuan adalah makhluk yang multitasking. Ia punya area sendiri yang mampu ia kerjakan sekaligus. Saya mengamati bahwa banyak perempuan yang meninabobokkan anaknya sementara ia memasak di dapur dan kedua pekerjaannya selesai sempurna. Tidak sedikit perempuan yang menjadi leader di pekerjaannya yang juga mampu mengurusi rumah tangganya. Sebut saja, Margareth Thatcher, Perdana Menteri Britania Raya (1979-1990). Sementara ia mengurusi negara ia juga mengurusi urusan rumah tangganya, seperti menyiapkan pakaian suaminya, membersihkan rumah, dan lain sebagainya.

Menurut saya, PR perempuan adalah mampu menyeimbangkan kepentingan keluarga dan kepentingan pribadinya (seperti karier dan hal-hal lain yang ia inginkan untuk hidupnya). Namun, banyak teman-teman perempuan yang mengkhawatirkan sedikit peluang laki-laki yang mau menjadi pasangan kita jika kita memiliki sudut pandang seperti di atas. Ada pemikiran tentang perempuan akan menjadi ‘hopeless romantic’ dan masih single di usia yang tak lagi muda meskipun sudah sukses dan cantik. Bagi saya, single dan usia bukan sesuatu yang perlu digalaukan. Memutuskan untuk berkeluarga di usia berapa dan dalam kondisi seperti apa merupakan suatu keputusan yang diambil karena keinginan, bukan karena sebuah keharusan, dan tentunya segalanya kuasa Tuhan, meskipun kita sudah merencanakannya dengan sempurna. Menikah dan berkeluarga buat saya memang menjadi prioritas bagi seorang perempuan, namun tentu bukan karena paksaan atau memaksakan diri. Menemukan partner hidup yang cocok tentu penting karena ia akan menjadi menemani kita sepanjang usia kita. Saya menganalogikan partner hidup ini seperti recruitment karyawan. Perusahaan belum tentu akan memilih mereka yang terbaik, tetapi perusahaan memilih yang cocok dengan nilai perusahaan, kompetensi dan posisi yang dibutuhkan saat itu. Hal tersebut dilakukan karena perusahaan ingin karyawan tersebut dapat bekerja dalam jangka waktu lama untuk meminimalisir turn-over. Begitu pula dengan partner hidup yang kita inginkan untuk menemani kita dalam jangka waktu lama, lama sekali. Menikah seperti merger, bukan akuisisi. Kita adalah teamwork dengan memahami jelas posisi dan kapasitas masing-masing.

Ada pemikiran pula bahwa laki-laki akan merasa tidak percaya diri dan memilih untuk tidak mendekati perempuan yang memiliki karier mapan dan financially independent. Mau tahu apa komentar laki-laki tentang hal ini?

#1—“Pada dasarnya, laki-laki beranggapan bahwa perempuan akan berujung di dapur dan laki-laki sebagai imamnya. Saya sah-sah aja sih kalau menikah dengan perempuan mapan dan karir melejit. Cuma ada batasnya. Setinggi apapun pendidikannya, kemapanannya, kalau waktunya untuk keluarga nggak kurang, ya why not? Banyak contoh kok wanita mapan jika menemukan laki-laki yang mengerti pasti nggak akan ada masalah.”

#2—“Nggak ada masalah kok untuk mendekati perempuan yang udah mapan. Toh kita sebagai laki-laki mempunyai kewajiban juga untuk menafkahi keluarga (istri dan anak). Kalau untuk masalah mapan itu rezeki masing-masing. So, kalau perempuan kita udah mapan ya alhamdulillah. Kalau masalah cinta dan perasaan nggak akan ada yang memisahkan”.

#3—“Perempuan dengan karier bagus biasanya punya independensi yang tinggi, tapi pada akhirnya mereka juga butuh seseorang, butuh kasih sayang, dan perhatian. Kadang ini nggak terlihat ketika mereka dalam lingkungan pekerjaan”.

#4—“Yang terpenting dia bisa menempatkan dirinya terpisah di hubungan dan di pekerjaan. Laki-laki harus diberi kesempatan untuk menyediakan, mengatur, dan tetap menjadi kepala di hubungannya juga dalam keluarga. Bagaimana pun, laki-laki harus tetap merasa dibutuhkan.”

#5—“Tidak semua hal mengenai pasangan diukur dari penghasilan dan karier. Lebih ke kompabilitas dan teamwork. Pasangan adalah sumber mencari dan berbagi pengetahuan nomor satu. Kenapa takut memiliki pasangan lebih pintar, kalau itu pada akhirnya bisa membuat kita lebih pintar juga. Yang penting, laki-laki harus percaya diri.”

See? Yang terpenting adalah bagaimana kita mampu untuk menyeimbangkan segala sesuatunya dan memahami posisi kita sebagai perempuan. Aku memelihara cita-cita untuk hidupku sebagai perempuan dan belajar mengusahakannya dengan sungguh. Semoga begitu pula kamu.(*)

Tinggalkan komentar